Advertisement
LAPORAN//TONI
THE NEWS.CO.ID
Kajian Yudis Normatif
Oleh :
Dr. H.Ruslan Abdul Gani, .S.H.M.H.CPM.CPA.
A. Tindak Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan Dalam Perspektik Hukum Positif.
JAMBI-Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu di atas tanah atau media lain, termasuk budidaya, panen, pengolahan, dan pemasaran hasil tanamannya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkebunan biasanya berfokus pada tanaman komersial skala besar seperti kelapa sawit, teh, karet, atau kopi, dan sering kali menerapkan sistem monokultur, yaitu menanam satu jenis tanaman dalam area yang luas.
Dilihat dari metode pembersihan perkebunan mencakup tebas bakar (slash and burn), yang lebih cepat dan murah tetapi dapat merusak lingkungan, dan metode mekanis tanpa bakar (zero burn), yang menggunakan alat berat seperti bulldozer dan traktor namun lebih mahal dan membutuhkan waktu lebih lama. Ada juga metode manual, kimia, dan penggunaan tanaman penutup tanah, tergantung skala dan jenis lahan yang dihadapi.
Metode yang sering digunakan oleh warga masyarakat dalam pembersiahan perkebunan dengan cara Metode tebas bakar. Bila dilihat tahapan, kelebihan serta kekurangannya antara lain:
1. Tahapan:
Menebang vegetasi, mengeringkannya secara alami, lalu membakarnya.
2. Kelebihan:
Cepat dan hemat biaya.
3. Kekurangan:
Merusak struktur tanah dan menurunkan kandungan bahan organik, serta berpotensi menyebabkan kebakaran hutan.
Tindak pidana pembakaran lahan perkebunan umumnya yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat karena dengan cara ini irit dan biaya murah. Cara membakar lahan kebun dengan cara disengaja atau karena kelalaiannya membakar, menyuruh membakar, atau menyebabkan terbakarnya lahan atau area perkebunan, baik untuk membuka lahan baru maupun untuk tujuan lain, tentunya menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, pencemaran udara, dan kerugian bagi masyarakat maupun negara. Pembakaran lahan perkebunan semacam ini dapat dikategorika perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan rusaknya fungsi lingkungan dan terganggunya ekosistem akibat api di area perkebunan.
Terhadap kegiatan membuka atau membersihkan lahan dengan cara membakar merupakan perbuatan pidana apabila dilakukan tanpa izin dan menimbulkan dampak lingkungan (seperti kebakaran hutan/lahan meluas, pencemaran udara, atau kerusakan ekosistem).
Hal ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya: Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 69 ayat (1) huruf h: "Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar."
Namun, terdapat pengecualian di Pasal 69 ayat (2): "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dapat dikecualikan untuk kegiatan pembakaran lahan dengan luas terbatas dan dengan memperhatikan kearifan lokal, yang dilakukan dengan alat pengendali agar tidak meluas."
Sanksinya (Pasal 108 UU PPLH): Setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
1. KETENTUAN LARANGAN
Larangan pembakaran lahan terutama diatur agar mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sering terjadi akibat pembukaan lahan dengan cara membakar.
Beberapa ketentuan larangan penting:
1. Dilarang membuka atau membersihkan lahan dengan cara membakar.
2. Setiap orang atau perusahaan perkebunan wajib mencegah dan mengendalikan kebakaran di arealnya.
3. Pelaku yang menyebabkan kebakaran, baik dengan sengaja maupun lalai, dapat dipidana dan digugat secara perdata.
Namun, ada pengecualian terbatas untuk masyarakat adat/lokal dalam skala kecil, selama dikontrol dan tidak menimbulkan dampak lingkungan luas (lihat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
2. DASAR HUKUM TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN
Berikut beberapa aturan utama yang mengatur larangan dan sanksi pidana pembakaran lahan perkebunan:
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
1. Pasal 69 ayat (1) huruf h:
“Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.”
2. Pasal 108:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”
b. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
1. Pasal 50 ayat (3) huruf d:
“Setiap orang dilarang membakar hutan.”
2. Pasal 78 ayat (3):
Pelaku yang dengan sengaja membakar hutan dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
1. Pasal 56 huruf a:
“Pelaku usaha perkebunan wajib mencegah dan menanggulangi kebakaran di areal perkebunan.”
2. Pasal 108:
“Setiap pelaku usaha perkebunan yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar, dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.”
d. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 187 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran yang membahayakan nyawa orang lain, harta benda, atau lingkungan, dipidana penjara hingga 12 tahun (atau lebih bila menimbulkan korban jiwa).
3. BATASAN LUAS LAHAN PERKEBUNAN YANG BOLEH DIBAKAR?
Terkait Batasan ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Di sana disebutkan bahwa: Pembakaran dengan luas maksimal 2 hektare per kepala keluarga diperbolehkan hanya untuk kegiatan tradisional (petani lokal) dengan syarat:
1. Ada izin dari pejabat berwenang (biasanya kepala desa atau camat).
2. Ada pengawasan agar api tidak meluas.
3. Dilakukan tidak di lahan gambut.
4. Dilakukan dengan alat pengendalian kebakaran (seperti sekat bakar).
Jadi, pembakaran lahan skala besar oleh perusahaan perkebunan jelas dilarang, karena tidak termasuk kategori “kearifan lokal”.
Manganai dasar hukum terkait larangan pembakaran lahan perkebunan hal ini dapat dilihat dalam ketetuan:
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 56 dan 108
c. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
d. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010.
4. ATURAN YANG MELARANG PEMBUKAAN PERKEBUNAN DENGAN CARA MEMBAKAR:
Senagaimana diketahui Setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan atau yang mengelola lahan dengan cara membakar dapat dikenakan sanksi hal ini dapat dilihat dalam :
1. Pasal 56 ayat (1) UU RI Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan sebagaimana di ubah dengan UU RI Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Perpu Nomor 02 Tahun 2022 Tentang Cipta kerja menjadi undang undang : Setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan atau yang mengelola lahan dengan cara membakar
2. Pasal 108 Jo Pasal 56 ayat (1) UU RI Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan sebagaimana di ubah dengan UU RI Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Perpu Nomor 02 Tahun 2022 Tentang Cipta kerja menjadi undang undang : Setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan atau yang mengelola lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (Sepuluh) Tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000 (Sepuluh Miliar).-
4. KESIMPULAN:
Aspek
Penjelasan
Apakah membakar lahan perkebunan boleh?
Secara umum tidak boleh (dilarang dan termasuk tindak pidana).
Apakah ada pengecualian?
Ya, hanya untuk kearifan lokal, maks. 2 hektare, izin resmi, dan terkendali.
Apakah perusahaan boleh membakar?
Tidak boleh sama sekali, karena tidak termasuk pengecualian kearifan lokal.
Sanksi
Penjara 3–10 tahun dan denda 3–10 miliar rupiah (UU 32/2009 Pasal 108).
B. Tindak Pidana Pembaran Lahan Perkebunan Perspektif Hukum Hidana dan Hukum Islam.
Larangan pembakaran lahan atau hutan (termasuk lahan perkebunan) dalam hukum Islam tidak diatur secara eksplisit dalam satu ayat atau hadis yang secara langsung menyebut “membakar lahan”. Namun, prinsip dan kaidah hukum Islam (fiqh) sangat jelas melarang perbuatan tersebut karena termasuk dalam kategori perusakan lingkungan (fasād fi al-arḍ) dan tindakan yang merugikan makhluk hidup lain (ḍarar).
Berikut dasar-dasar hukumnya:
1. Al-Qur’an
a. Larangan melakukan kerusakan di bumi
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya...”
(QS. Al-A‘rāf [7]: 56)
“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku hanya membuat perbaikan saja.’ Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 11–12)
Membakar hutan atau lahan menyebabkan kerusakan ekosistem, matinya hewan, pencemaran udara, dan bencana ini termasuk fasād fi al-arḍ (kerusakan di bumi) yang dilarang keras.
2. Hadis Nabi SAW
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain (lā ḍarar wa lā ḍirār).”
(HR. Ibn Mājah, Malik, dan Ahmad)
Artinya, setiap tindakan yang menimbulkan bahaya (seperti pembakaran lahan yang merusak lingkungan dan kesehatan) haram dilakukan.
Selain itu, Rasulullah juga melarang membunuh makhluk hidup tanpa alasan yang benar, termasuk membakar sarang hewan atau tumbuhan:
“Tidak boleh menyiksa (membakar) dengan api, kecuali Tuhan yang menciptakan api.”
(HR. Bukhari)
Ini menunjukkan pembakaran tanpa alasan syar’i adalah perbuatan terlarang.
3. Kaidah Fiqh
Beberapa kaidah fiqhiyyah yang relevan:
• الضرر يزال — Setiap kemudaratan harus dihilangkan.
• درء المفاسد مقدم على جلب المصالح — Mencegah kerusakan didahulukan daripada
meraih kemaslahatan.
Maka, meskipun pembakaran dianggap cara cepat membersihkan lahan, karena menimbulkan kerusakan besar, hukumnya haram.
4. Pendapat Ulama dan Fatwa Kontemporer
Banyak lembaga fatwa (termasuk Majelis Ulama Indonesia) menyatakan bahwa:
Pembakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kerusakan lingkungan hukumnya haram.
Contoh:
Fatwa MUI No. 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan:
“Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran udara, gangguan kesehatan, dan kerugian pihak lain hukumnya haram.”
Kesimpulan
Dalam hukum Islam, pembakaran lahan perkebunan secara sengaja hingga menimbulkan kerusakan:
- Termasuk fasād fi al-arḍ (perusakan di muka bumi).
- Melanggar prinsip lā ḍarar wa lā ḍirār (tidak boleh membahayakan diri dan orang lain).
- Haram hukumnya, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur’an, Hadis, dan Fatwa Ulama.
Pembakaran lahan, khususnya untuk membuka lahan perkebunan (seperti sawit, karet, atau tebu), sering menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran udara (asap), serta kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Dalam konteks hukum positif Indonesia, hal ini diatur dan dilarang, misalnya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta KUHP Pasal 187–188.
Dalam perspektif hukum Islam, pembakaran lahan juga dipandang sebagai perbuatan yang merusak (fasād fi al-ardh) dan melanggar prinsip tanggung jawab terhadap lingkungan yang menjadi amanah dari Allah SWT.
Bila dilihat Landasan Teologis dan Prinsip Umum dalam hukum Islam diantaranya :
a. Larangan Merusak di Muka Bumi
Al-Qur’an menegaskan larangan melakukan kerusakan (fasād):
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
.
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya..."
(QS. Al-A‘rāf [7]: 56)
Ayat ini menjadi dasar bahwa setiap tindakan manusia yang menimbulkan kerusakan terhadap makhluk hidup, tanah, udara, atau air — termasuk membakar hutan dan lahan — adalah perbuatan dosa dan melawan kehendak Allah.
b. Prinsip Amanah (Khilafah)
Manusia diciptakan sebagai khalifah (pemimpin/pengelola) di bumi:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi'..."
(QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Artinya, manusia bertanggung jawab menjaga dan memelihara lingkungan, bukan merusaknya. Pembakaran lahan tanpa memperhatikan dampak lingkungan berarti me nyalahgunakan amanah kekhalifahan.
c. Larangan Membahayakan (ḍarar)
Kaedah fiqhiyyah menyebut:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.”
(HR. Ibn Mājah, Malik, Ahmad)
Pembakaran lahan yang menimbulkan asap, penyakit, dan kerugian ekonomi termasuk perbuatan yang mendatangkan bahaya (ḍarar), sehingga haram hukumnya.
1. KLASIFIKASI HUKUM PEMBAKARAN LAHAN DALAM ISLAM
a. Hukum Asal: Haram
Pembakaran lahan tanpa alasan syar‘i dan dengan dampak merusak adalah haram karena bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan, menimbulkan mafsadah (kerusakan), dan mengancam kehidupan manusia.
b. Jika Menyebabkan Kerugian Nyata
Apabila pembakaran menyebabkan kematian, penyakit, atau kerugian harta, pelaku dapat dikenai pertanggungjawaban pidana (jinayah):
1. Jika disengaja: termasuk dalam kategori jarīmah ‘amd (kejahatan dengan sengaja), bisa dihukum ta‘zīr (hukuman yang ditetapkan penguasa).
2. Jika tidak disengaja tapi lalai: termasuk jarīmah khathā’ (kelalaian), pelaku tetap wajib menanggung ganti rugi (diyah atau ta‘zīr).
2. JENIS HUKUMAN (SANKSI) DALAM HUKUM ISLAM
Dalam hukum pidana Islam, tidak ada hukuman hudud khusus untuk pembakaran lahan, tetapi bisa dikenai hukuman ta‘zīr.
a. Ta‘zīr
Ta‘zīr adalah hukuman yang bentuk dan kadarnya ditetapkan oleh penguasa untuk menjaga kemaslahatan umum.
Sanksinya bisa berupa:
1. Denda (ganti rugi terhadap korban dan masyarakat),
2. Penjara,
3. Cambuk,
4. Larangan menjalankan usaha,
5. Bahkan hukuman sosial seperti pencabutan izin atau publikasi peringatan.
Dasar hukumnya adalah:
“Segala perkara yang tidak ada ketentuan hudud dan kafarat, maka penguasa boleh menjatuhkan hukuman ta‘zīr.”
(Kaedah fiqhiyyah)
b. Kewajiban Ganti Rugi (Dhamān)
Pelaku juga wajib mengganti kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan — baik terhadap lahan, masyarakat, maupun lingkungan.
3. PEMBAKARAN LAHAN DIKAITKAN DENGAN TUJUAN (MAQĀṢID AL-SYARĪ‘AH)
Maqāṣid al-Syarī‘ah berarti “tujuan-tujuan hukum Islam”.
Tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah) bagi manusia dan alam.
Secara klasik, para ulama seperti al-Ghazali dan al-Syathibi membagi maqāṣid menjadi lima prinsip pokok (al-ḍarūriyyāt al-khamsah), yaitu:
1. Hifẓ al-Dīn – menjaga agama
2. Hifẓ al-Nafs – menjaga jiwa
3. Hifẓ al-‘Aql – menjaga akal
4. Hifẓ al-Nasl – menjaga keturunan
5. Hifẓ al-Māl – menjaga harta
Bila dilihat Pembakaran Lahan dan Dampaknya, pembakaran lahan baik untuk pembukaan perkebunan sawit, pertanian, atau alasan lain biasanya menimbulkan:
1. Kabut asap yang membahayakan kesehatan manusia (pernapasan, penyakit kronis)
2. Kerusakan lingkungan (kehilangan hutan, tanah menjadi rusak, ekosistem terganggu)
3. Kematian flora dan fauna
4. Kerugian ekonomi (transportasi terganggu, wisata menurun, biaya kesehatan meningkat)
5. Masalah sosial lintas negara (asap lintas batas, konflik regional)
4. ANALISIS MAQĀṢID AL-SYARĪ‘AH TERHADAP PEMBAKARAN LAHAN
Aspek Maqāṣid
Penjelasan
Dampak Pembakaran Lahan
Hifẓ al-Nafs (Menjaga jiwa)
Islam melarang tindakan yang membahayakan nyawa dan kesehatan. Asap menimbulkan gangguan kesehatan bahkan kematian.
Melanggar prinsip ini karena mengancam kehidupan manusia.
Hifẓ al-Māl (Menjaga harta)
Tujuan ekonomi (membuka lahan cepat & murah) tidak boleh menghalalkan kerugian besar terhadap harta masyarakat lain.
Kerugian ekonomi & kerusakan lahan justru menghilangkan maslahat jangka panjang.
Hifẓ al-Bī’ah (Menjaga lingkungan) (maqāṣid kontemporer)
Banyak ulama modern menambah perlindungan lingkungan sebagai maqāṣid baru.
Pembakaran merusak ekosistem & keseimbangan alam — bertentangan dengan amanah khalifah di bumi.
Hifẓ al-Nasl (Menjaga keturunan)
Polusi & rusaknya lingkungan memengaruhi generasi masa depan.
Merusak hak hidup sehat anak cucu.
Hifẓ al-Dīn (Menjaga agama)
Agama memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah yang menjaga bumi.
Tindakan ini mencederai amanah spiritual & moral Islam.
5. PRINSIP FIQH YANG RELEVAN
Beberapa kaidah fikih mendukung pelarangan pembakaran lahan:
1. “Lā ḍarar wa lā ḍirār”
- Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.
- Pembakaran jelas menimbulkan bahaya umum (mafsadah ‘āmmah).
2. “Dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ”
- Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan.
- Walau pembakaran dianggap efisien, kerusakannya jauh lebih besar.
3. “Al-maṣlaḥah al-‘āmmah muqaddamah ‘alā al-maṣlaḥah al-khāṣṣah”
- Kemaslahatan umum lebih utama daripada kepentingan pribadi.
- Kepentingan ekonomi segelintir pihak tidak boleh mengorbankan masyarakat luas.
Dari perspektif hukum Islam, pembakaran lahan perkebunan:
a. Haram hukumnya karena menimbulkan kerusakan (fasād), bahaya (ḍarar), dan melanggar amanah kekhalifahan.
b. Termasuk jarīmah ta‘zīr, yang hukumannya diserahkan kepada kebijakan pemerintah demi kemaslahatan.
c. Pelaku juga wajib menanggung ganti rugi (dhamān) atas kerusakan yang ditimbulkan.
Dengan demikian, Islam tidak hanya menekankan aspek hukum, tetapi juga etika lingkungan (akhlaq al-bi’ah) — bahwa manusia wajib menjadi penjaga bumi, bukan perusaknya.
6. KESIMPULAN
Dari perspektif Maqāṣid al-Syarī‘ah, pembakaran lahan adalah tindakan yang bertentangan dengan tujuan syariat Islam karena:
a. Menimbulkan mafsadah besar terhadap jiwa, harta, keturunan, dan lingkungan.
b. Tidak sejalan dengan tanggung jawab khalifah untuk menjaga bumi (isti‘mār al-arḍ).
c. Melanggar prinsip keadilan sosial dan kemaslahatan umum.
Alternatif Islami menurut hemat penulis mengembangkan cara pembukaan lahan yang ramah lingkungan, adil, dan berkelanjutan ini lebih sesuai dengan maqāṣid al-syarī‘ah yang menekankan rahmah (kasih sayang) dan maslahah (kemanfaatan).
Hukum Islam menetapkan larangan pembakaran lahan untuk menjaga lima tujuan utama (maqāṣid al-syarī‘ah):
1. Hifẓ al-nafs (menjaga jiwa) – agar manusia tidak celaka akibat asap.
2. Hifẓ al-māl (menjaga harta) – agar harta masyarakat tidak rusak.
3. Hifẓ al-bi’ah (menjaga lingkungan) – agar bumi tetap lestari.
4. Hifẓ al-nasl (menjaga keturunan) – agar generasi mendatang tidak dirugikan.
5. Hifẓ al-dīn (menjaga agama) – dengan menaati perintah Allah untuk tidak berbuat fasād.


